Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah
dan serampangan mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya mengambil
inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan masjid atau diluar
lingkup ketentuan yang diperbolehkan.
Menyembelih
binatang kurban merupakan ibadah agung yang dilakukan umat Islam setiap tahun
pada hari raya kurban.Orang yang menyembelih binatang kurban, boleh memanfaatkannya
untuk memakan sebagian daging darinya, menshadaqahkan sebagian darinya kepada
orang-orang miskin, menyimpan sebagian dagingnya, dan memanfaatkan yang dapat
dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk qirbah (wadah air) dan sebagainya.
Dalil hal-hal di atas adalah
hadits-hadits dibawah ini.
“Artinya : Dari Salamah bin Al-Akwa
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Barangsiapa di antara kamu menyembelih kurban, maka janganlah ada daging
kurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga”. Tatkala pada
tahun berikutnya, para sahabat bertanya : “Wahai, Rasulullah! Apakah kita akan
melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada tahun lalu?” Beliau menjawab
: “Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena sesungguhnya tahun yang
lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik), maka aku menghendaki agar kamu
menolong (mereka) padanya (kesusahan itu). [HR Bukhari no. 569, Muslim, no,
1974]
Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : ‘Makanlah, berilah makan, dan simpanlah’, bukan menunjukkan kewajiban,
tetapi menunjukkan kebolehan. Karena perintah ini datangnya setelah larangan,
sehingga hukumnya kembali kepada sebelumnya. [Lihat juga Fathul Bari,
penjelasan hadits no. 5.569]
Dari hadits ini kita mengetahui,
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang memakan daging kurban
lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada waktu itu menshadaqahkan
kelebihan daging kurban yang ada. Namun larangan itu kemudian dihapuskan. Dalam
hadits lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapuskan
larangan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau bersabda.
“Artinya ; Dahulu aku melarang kamu
dari daging kurban lebih dari tiga hari, agar orang yang memiliki kecukupan
memberikan keleluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarang),
makanlah semau kamu, berilah makan, dan simpanlah” [HR Tirmidzi no. 1510,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
Setelah meriwayatkan hadits ini,
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata. :“ Pengamalan hadits ini dilakukan oleh
ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain
mereka”.
Dalam hadits lain disebutkan.
“Artinya : Dari Abdullah bin Waqid,
dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging
kurban setelah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata : Kemudian aku
sebutkan hal itu kepda Amrah. Dia berkata, “dia (Abdullah bin Waqid) benar”.
Aku telah mendengar Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, orang-orang Badui
datang waktu Idul Adh-ha pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
Beliau bersabda, ‘Simpanlah (sembelihan kurban) selama tiga hari, kemudian
shadaqahkanlah sisanya’. Setelah itu (yaitu pada tahun berikutnya, -pent) para
sahabat mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang membuat
qirbah-qirbah [1] dari binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan
(membuang) lemak darinya”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Memangnya kenapa?” Mereka menjawab, “Anda telah melarang memakan
daging kurban setelah tiga hari”. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya aku
melarang kamu hanyalah karena sekelompok orang yang datang (yang membutuhkan
shadaqah daging, -pent). Namun (sekarang) makanlah, simpanlah, dan
bershadaqahlah’ [HR Muslim no. 1971]
Banyak ulama menyatakan, orang yang
menyembelih kurban disunnahkan bershadaqah dengan sepertiganya, memberi makan
dengan sepertiganya, dan dia bersama keluarganya memakan sepertiganya. Namun
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diserahkan
kepada orang yang berkurban. Seandainya dishadaqahkan seluruhnya, hal itu
dibolehkan. Wallahu a’lam [2]
MENJUAL SESUATU DARI HEWAN
SEMBELIHAN KURBAN
Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini.
Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini.
[1]. Hadits Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Dari Ali Radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia
mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4]
(pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh
memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya”. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim
no. 439/1317]
Pada riwayat lain disebutkan, Ali
Radhiyallahu ‘anhu berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau,
menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan
sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda :
“Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no.
348, 1317]
Hadits ini secara jelas menunjukkan,
bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu
untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk
jual beli. Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang
terlarangnya menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya.
[2]. Hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu
“Artinya : Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada
kurban baginya”.
Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani
menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi
(99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shagir,
no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin
Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak
dijadikan hujjah. [5]
[3]. Hadits Abi Sa’id Al-khudri
Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Janganlah kamu menjual
daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah
kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya” [Hadits dha’if,
riwayat Ahmad 4/15] [6]
PERKATAAN PARA ULAMA
[1]. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli”.
[1]. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli”.
Beliau juga mengatakan : “Aku tidak
mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa
telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia
(harus) mengembalikan harganya –atau nilai apa yang telah dia jual, jika
nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan
untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai,
sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai” [7]
[2]. Imam Nawawi rahimahullah
berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah),
tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu
dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat
Atho, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan
dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan
menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam
menjualnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan,
saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya,
-pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya boleh diberikan kepada tukang
jagalnya’. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu a’lam. [Lihat
Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo]
[3]. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah
berkata : “Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah
dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan
daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari
hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk
hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan
hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang
jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah).
Penulis Nihayatul Mujtahid berkata : “Yang aku ketahui, para ulama sepakat
tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan
bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak
boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham.
Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya,
dirham atau lainnya” [8] Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya,
hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk
kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang
bolehnya memanfaatkan dengannya’. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali]
[4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Bassam mengatakan : “Di antara faidah hadits ini
menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya
adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau
menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat
Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/70]
Beliau juga berkata : “Para ulama
sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang disembelih
oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh
menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan
rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya,
rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang,
karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata” [Lihat Taudhihul
Ahkam Min Bulughul Maram 6/71]
KESIMPULAN
Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
[1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan.
[2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.
[3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.
a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah
b). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli.
c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas.
Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
[1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan.
[2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.
[3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.
a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah
b). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli.
c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas.
[4]. Jika kulit dijual, maka –yang
paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan. Wallahu ‘alam bish
shawab.
Menjual Kulit Hewan Kurban dan Upah Tukang Jagal
Tanya: Bolehkah menjual kulit hewan kurban?
Jawab:
Orang yang berkurban tidak boleh
menjual kulit hewan kurbannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarangnya dalam sabda beliau:
“Barang siapa yang menjual kulit
hewan kurbannya maka tiada kurban baginya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahihul Jami’)
Tapi, diriwayatkan bahwa Ibnu Umar
membolehkan menjualnya bila untuk disedekahkan juga. Namun demikian, tentu
hadits Nabi lebih diutamakan, sehingga semaksimal mungkin yang berkurban jangan
menjualnya. Bisa dia pakai sendiri untuk keperluan tertentu atau dia
sedekahkan.
Hukum ini berlaku bagi orang yang
berkurban, adapun bagi seseorang yang diberi atau disedekahi kulit tersebut,
maka boleh saja baginya menjualnya, karena ini sudah menjadi miliknya, dan
kurban itu telah mencapai sasarannya.
Tanya: Bolehkah
memberikan sebagian hasil kurban kepada jagalnya sebagai upah jasa?
Jawab:
Tidak boleh, upah diambil dari luar
hewan kurban, atau jagalnya ikhlas tidak mengharapkan upah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wassalam berpesan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata, “Rasulullah memerintahkan aku untuk menyembelihkan untanya, dan untuk
menyedekahkan dagingnya, kulitnya serta kain yangada di atas unta tersebut,
serta tidak memberikan sedikit pun darinya kepada
jagal (tukang sembelih).” Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami
memberikan upah kepadanya dari harta kami sendiri.” (HR. Muslim)