بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Segala Puji bagi Allah. Hanya kepada-Nya kita memuji,
memohon pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat. Kita berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa yang ditunjuki Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya,
dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tiada Sembahan yang Haq selain Allah saja, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga
Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada keluarga dan para
shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
kemudian.
Sungguh, masalah darah yang biasa terjadi pada kaum wanita,
yaitu Haid, Istihadhah, dan Nifas, merupakan masalah penting yang perlu
dijelaskan dan diketahui hukumnya, perlu dipilah mana yang benar dan yang
salah dari pendapat para ulama dalam
masalah ini. Dan hendaknya yang menjadi sandaran dalam memperkuat dan
memperlemah pendapat dalam hal tersebut adalah dalil dari Kitab dan Sunnah,
karena keduanya merupakan sumber utama yang menjadi landasan dalam beribadah,
yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya.
Juga, karena bersandar kepada Kitab dan Sunnah akan membawa
kepada ketenangan jiwa, kebahagiaan dan kepuasan batin serta membebaskan diri
dari tanggungan.
Sedangkan, selain Kitab dan Sunnah tidak dapat dijadikan
hujjah, sebab yang sebenarnya hanyalah yang terdapat dalam firman Allah, sabda
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan Ahli ilmu dari
para shahabat, menurut pendapat yang kuat, dengan syarat tidak menyalahi apa
yang ada dalam Kitab dan Sunnah, serta tidak bertentangan dengan perkataan shahabat yang lain.
Andaikata
menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka wajib diambil apa yang ada
dalam Kitab dan Sunnah. Dan jika bertentangan dengan perkataan shahabat yang
lain, maka perlu dilakukan tarjih di antara kedua pendapat tersebut dan diambil
mana pendapat yang kuat. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. AnNisaa’ [4]: 59).
Dan risalah ringkas ini merupakan penjelasan tentang
masalah yang mendesak tersebut, yakni darah kebiasaan kaum wanita dan
hukum-hukumnya, yang pembahasannya meliputi:
Pasal I : Makna haid dan
hikmahnya.
Pasal II : Usia
dan masa haid.
Pasal III : Hal
hal diluar kebiasaan haid.
Pasal IV : Hukum-hukum
haid.
Pasal V : Istihadhah
dan hukum-hukumnya.
Pasal VI : Nifas
dan hukum-hukumnya.
Pasal VII : Penggunaan alat
pencegah atau perangsang haid, pencegah kehamilan dan penggugur kandungan.
PASAL I
MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1.
MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir.
Dan menurut syara’ ialah: darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan
karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan
disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah
tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang
nyata pada setiap wanita.
2.
HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di dalam kandungan
ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan anak diluar kandungan, dan
tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka
Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses
pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan
ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui
tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat
makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita
sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali.
Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa
menyusui.
PASAL II
USIA DAN MASA HAID
1. USIA HAID
Usia
haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah
mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah
usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang
mempengaruhinya.
Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan
tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum
atau sesudah usia tersebut?
Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam
masalah ini, mengatakan: “hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang
menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai
darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”.
Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti
ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab
Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada
keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada
keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada
masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2. MASA HAID
Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar
enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu
Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak
mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil
pertama:
Firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab
itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah [2]: 222).
Dalam ayat ini,
yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan
berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal
ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah
haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan
jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil
kedua:
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan
Ihram untuk umrah:
افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْت حَتَّى تَطْهُرِي
“lakukankanlah
apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah
sebelum kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku
suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:
انْتَظِرِيْ، فَإِذَا طَهُرْتِ فَاخْرُجِي إِلَى التَنْعِيْم
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah
ke Tan’im”.
Dalam hadits
ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas
akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan
bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan
dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya
batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan
diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya
telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang,
mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan
shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan
Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya,
ruku’ dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan
siapa yang berhak menerimanya, tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji
dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk
dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari
buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar,
yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan
Allah kepada kaum mu’minin.
Firman
Allah ta’ala:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ
“…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl [16]: 89).
مَا
كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ
كُلَّ شَيْءٍ
“…Al-Qur’an itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu…". (QS. Yusuf: 111).
Oleh karena itu
pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak
dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah
keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada
atau tidak adanya haid.
Dalil ini –yakni
suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah-
berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya,
karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i
dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara
sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah
yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan
maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya
dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan
antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu
batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah
fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
Dalil
keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni,
bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid
itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan
hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan
antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas
dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam
kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin
dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam
illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam
hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?
Dalil
kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang
memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang
harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang
bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut
diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan
pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas
minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu
diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka
atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau
usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau berhenti
sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut
adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang
istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada prinsipnya,
setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang
menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Kata beliau pula: “Maka darah yang keluar adalah haid, bila
tidak diketahui darah penyakit atau karena luka.”
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat
berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan
dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat mereka
yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut
diterima karena sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.
Firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj [22]: 78).
Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوْا
“Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorangpun yang
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka
berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira”
(HR. Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka dipilihnya yang termudah
selama tidak merupakan perbuatan dosa.
3. HAID
WANITA HAMIL
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan
berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad rahimahullah: “kaum wanita
dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum
melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai rasa sakit, maka darah
tersebut adalah darah nifas, tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran
atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu bukan
darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu termasuk darah haid yang
berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya
tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan pendapat di antara para ulama
dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid
apabila terjadi pada wanita menurut waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya,
darah yang keluar dari rahim wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab
yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an
maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.
Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar
(hal: 30): “Dan dinyatakan oeh Al Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai
pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali dari
pendapat ini”.
Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita hamil
ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada wanita yang tidak hamil, kecuali
dalam dua masalah:
a.
Talak
Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam
keadaan haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak
(perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang tidak hamil menyalahi
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“… apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath Thalaq [65]: 1).
Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid tidak
menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab, siapa yang mencerai
wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa
iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena masa iddahnya adalah dalam
kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah
melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak
hamil.
b.
Iddah
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir pada
saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”
(QS. Ath Thalaq [65]: 4).
PASAL III
HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID
Ada
beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:
1.
BERTAMBAH ATAU BERKURANGNYA
MASA HAID.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari,
tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya,
biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
2.
MAJU ATAU MUNDUR WAKTU
DATANGNYA HAID.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan
lalu, tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal
bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di
atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah
(haid) maka dia dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia
dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari
kebiasaannya. Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu dalil yang memperkuat
pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan
keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafi'i dan
menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni
pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, ia berkata: “Andikata adat
kebiasaan menjadi dasar pertimbangan, menurut yang disebutkan dalam madzhab,
niscaya dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan
tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau
menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum
wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau
tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan
tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan
wanita yang istihadhah saja.
3.
DARAH BERWARNA KUNING ATAU
KERUH
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning
seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan
haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum
haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid.
Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha:
كُنَّا لاَ نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالكُدْرَة بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami
tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang berwarna kuning atau keruh
sesudah masa suci”
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “sesudah masa suci”,
tetapi beliau sebutkan dalam “Bab: Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa
Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu merupakan isyarat Al
Bukhari umtuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “sebelum kamu
melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini,
bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning
atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang
disampaikan Ummu Athiyah”.
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan
oleh Al Bukhari pada bab sebelumnya, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan
kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui
apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna
kuning, maka Aisyah berkata: “janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat
lendir putih” maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis
masa haid.
4.
DARAH HAID KELUAR SECARA
TERPUTUS-PUTUS
Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam
hal ini terjadi 2 kondisi:
a.
Jika kondisi ini selalu
terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.
b.
Jika kondisi ini tidak
selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia mempunyai
saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi
ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk
dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya
yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid, pendapat ini
pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al
Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti
ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci
berarti yang sebelumnya adalah haid yang sesudahnyapun haid, dan tak ada
seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah
dengan perhitungan Quru’ (haid
atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan
sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus
mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal
syariat tidaklah itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin
Hanbal, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci;
kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah
yang melampaui itu adalah darah Istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al Mughni: “jika berhentinya
darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci.
Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa
berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah
yang shahih, insyaallah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang
terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita
pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“…
dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan
…” (QS. Al Hajj [22]: 78).
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari
bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang
menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa
kebiasaannya atau ia melihat lendir putih (Al Mughni, juz I, Hal: 355).
5.
TERJADI PENGERINGAN DARAH
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab
atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung
dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi
setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling
tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
PASAL IV
HUKUM-HUKUM HAID
Terdapat banyak hukum haid, ada
lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami
anggap banyak diperlukan, antara lain:
1.
SHALAT.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan shalat,
baik fardhu maupun sunnat, dan jika ternyata mengerjakan shalat, maka shalatnya
tidak sah. Tidak wajib baginya mengerjakan shalat kecuali jika ia mendapatkan
sebagian dari waktunya yang cukup untuk mengerjakan satu rakaat sempurna, baik
pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu, seorang wanita haid setelah
matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan waktu sebanyak satu rakaat dari
waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat maghrib tersebut setelah suci,
karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat
sebelum datangnya haid.
Adapun contoh pada akhir waktu: seorang wanita suci dari
haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari
waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat subuh tersebut setelah bersuci,
karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat.
Namun jika wanita yang haid mendapatkan sabagian dari waktu
shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti kedatangan haid
-pada contoh pertama– sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid
–pada contoh kedua– sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak
wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن الصَّلاَةِ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Barang
siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat
itu” (Muttafaq ‘alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu
rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu ashar, maka wajib baginya mengerjakan shalat
dzhuhur bersama ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya’ apakah wajib baginya
mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya’ ?
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam
masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang
didapatkan sebagian waktunya saja yaitu shalat Ashar dan shalat Isya’, karena
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ
رَكْعَةً مِن العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ
“Barang
siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka
dia telah mendapatkan shalat Ashar” (Muttafaq ‘alaih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan
“maka ia telah mendapatkan shalat Dzhuhur dan Ashar” juga tidak menyebutkan
kewajiban shalat Dzhuhur baginya. Dan menurut kaidah: seseorang itu pada
prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abi Hanifah dan Imam
Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab "syarh Al Muhadzdzab juz III,
hal. 70".
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan
bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh,
do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur’an, maka tidak diharamkan bagi
wanita haid, hal ini berdasarkan hadits dalam shahih Al Bukhari dan Muslim dan
kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar
di pangkuan Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang haid, lalu
beliau membaca Al Qur’an.
Diriwayatkan pula dalam shahih Al Bukhari dan Muslim Dari
Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخْرِجُ
العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ وَالحُيَّضَ – يعني إلى صلاة العيد -
وَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ
المُصَلَّى
“Agar
keluar para gadis, perawan dan wanita haid- yakni ke shalat Idhul Fitri dan Adha- serta supaya mereka
ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid
menjauhi tempat shalat”
Sedangkan membaca Al Qur’an bagi wanita haid itu sendiri,
jika dengan mata atau dengan hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa
hukumnya, misalnya mushaf atau lembaran Al Qur’an diletakkan lalu matanya
menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. menurut An Nawawi dalam kitab "Syarh
Al Muhadzdzab" Juz II, hal: 362, hal ini boleh tanpa ada perbedaan
pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur’an dengan lisan,
maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al Bukhari,
Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya.
Juga boleh membaca ayat Al Qur’an bagi wanita haid menurut
Imam Malik dan Asy syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta menurut Ibrahim An Nakha’i
sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu
Qasim mengatakan: “Pada dasarnya tidak ada hadits yang melarang wanita haid
membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “wanita yang sedang haid dan orang
junub tidak boleh membaca Al Qur’an” adalah hadits dhaif menurut
kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita yang sedang haid dilarang
membaca Al Qur’an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal ini termasuk
yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya,
diketahui oleh istri beliau sebagai ibu kaum mu’minin, serta disampaikan
sahabat kepada orang lain. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa
ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini.
Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada
zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama,
seyogyanya, kita katakan, lebih utama bagi wanita yang sedang haid tidak
membaca Al Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang guru
wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur’an kepada siswi-siswinya, atau
seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur’an, dan
lain sebagainya.
2.
PUASA
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berpuasa, baik
puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi
ia berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ -تعني الحيض- فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Ketika
kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak
diperintahkan mengqadha’ shalat (Muttafaq ‘alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika berpuasa maka
batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan
wajib baginya mengqadha puasa hari itu, jika puasa tersebut puasa wajib. Namun
jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah baru
keluar setelah Maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu
sempurna dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim belum ada
hukumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib
mandi? beliaupun menjawab:
نَعَمْ إِذَا هِيَ رَأَت الـمَاءَ
"Ya, jika wanita itu melihat adanya air”.
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaitkan hukum dengan air, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian
pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya
darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam
keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat
setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya, sekalipun
ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub,
jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi
kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha:
كَانَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ
ثُمَّ يَصُوْمُ فِي رَمَضَانَ
“Pernah
suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam
keadaan junub karena jima’, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Muttafaq
‘alaih).
3.
THAWAF.
Diharamkan bagi wanita yang
sedang haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan
tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Aisyah:
افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي
“Lakukanlah
apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di
Ka’bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i antara Shafa dan marwah,
wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan
haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang
wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid langsung
setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak apa-apa
hukumnya.
4. THAWAF WADA’
Jika seorang wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan
umrah, lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini
terus berlangsung sampai batas waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa
thawaf wada’. Dasarnya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma:
أُمِرَ
النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ
الحَائِضِ
“Diperintahkan
kepada jamaah haji saat-saat terakhir bagi mereka berada di baitullah
(melakukan thawaf wada’), hanya saja hal ini tidak dibebankan kepada wanita
yang sedang haid.” (Muttafaq alaih).
Dan tidak disunnatkan bagi wanita yang sedang haid ketika
hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo’a. karena hal ini
tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan
seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah
Radhiyallahu ‘anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “kalau demikian, hendaklah ia
berangkat” (hadits muttafaq alaih ) . Dalam
hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram.
Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita
yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.
5.
BERDIAM DALAM MASJID
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam
masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied.
Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخْرِجُ
العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ، وفيه: وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ الـمُصَلَّى
“Agar
keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid
menjahui tempat shalat” (Muttafaq alaih).
6.
JIMA’ ( SENGGAMA)
Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya
yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi kesempatan kepada suaminya
melakukan hal tersebut. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: “haid itu suatu kotoran: oleh sebab
itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…" (QS. Al Baqarah [2]: 222).
Yang dimaksud dengan “المحيض " dalam ayat di atas adalah waktu haid
atau tempat keluarnya darah haid, yaitu:
farji (vagina).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اصْنِعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah
apa saja kecuali nikah (yakni: bersenggama).” (HR. Muslim).
Umat
Islam juga telah sepakat bahwa jima’ di dalam farji istri pada masa haid adalah
hal yang dilarang.
Oleh sebab itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan ini, yang telah dilarang oleh Kitab
Allah, sunnah Rasul–Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Maka barang siapa
yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya
serta mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman.
An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab,
juz II, hal. 374, mengatakan: “Imam Syafi'i berpendapat bahwa orang yang
melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami dan
yang lainnya, orang yang melakukan senggama dengan istri yang sedang haid
hukumnya kafir.
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan
selain jima’ (senggama), seperti berciuman, berpelukan dan bersebadan pada
selain daerah farji (vagina). Namun sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara
pusar dan lutut kecuali jika sang istri mengenakan kain penutup. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِيْ فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرَنِي وَأَنَا
حَائِضٌ
“Pernah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku mengenakan kain lalu beliau
mencumbuiku sedang aku dalam keadaan haid.” (Muttafaq alaih).
7.
TALAK
Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang
haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)". (QS.
Ath Thalaq [65]: 1).
Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat
menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan
hamil atau suci sebelum digauli. Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan
haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada
saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak
dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas
karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak
hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak hamil maka
iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka
diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.
Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya.
Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam
shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah
menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka Nabipun marah dan
bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Suruh
ia merujuk istrinya kemudian mempertahankan-nya sampai ia suci, lalu haid, lalu
suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya
sebelum digauli, karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak
istri.”
Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak
istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah subhanahu wa
ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai
dengan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah
merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang
dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki
dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid,
ada tiga masalah yang dikecualikan:
a.
Jika talak terjadi sebelum
bersenggama dengan istri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin
baru misalnya) maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam kasus
demikian, istri tidak terkena iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ
“…Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar). (QS. Ath Thalaq [65]: 1).
b.
Jika haid terjadi dalam
keadaan hamil, sebagaimana yang telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
c.
Jika talak tersebut atas dasar
iwadh (penggantian) maka boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam
keadaan haid.
Misalnya terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak
harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta suami agar
mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka hal itu, sekalipun
istri dalam keadaan haid boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhu:
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتٍ بن قَيْسٍ بن
شَمَّاسٍ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ
الله إِنِّيْ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ
الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَـالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَتَرُدِّيْنَ
عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُـوْلُ الله صلى الله عليه
وسلم: اقْبَل الحَدِيْقِةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً رواه البخاري.
“Bahwa
istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam
akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya?
Wanita itu menjawab: “Ya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: (kepada suaminya): “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" (
HR. Al Bukhari ).
Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini
dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam
keadaan apapun, jika memang diperlukan.
Dalam kitab Al Mughni disebutkan tentang alasan
dibolehkannya khulu’ (cerai atas permintaan istri dengan tebusan) dalam
keadaan haid: “Dilarangnya talak dalam keadaan
haid karena adanya madharat (bahaya) bagi
istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’ adalah untuk
menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri disebabkan adanya hubungan yang
tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan
tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri
daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat
yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena
itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang
meminta khulu’ tentang keadaannya.
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang
haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal. Dan tidak ada dalil yang
melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan
berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan
akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika
dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk
menghindari hal-hal yang dilarang.
8.
'IDDAH TALAK DIHITUNG
DENGAN HAID
Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau
berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga kali haid secara
sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil, hal
ini berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’" (QS.Al
Baqarah [2]: 228).
Tiga kali quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi jika
istri dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa
iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta'ala:
وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“…Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya...” (QS. Ath Thalaq [65]: 4).
Jika si istri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih
kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah
dioperasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat
haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta'ala:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara istri-istrimu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid …"(QS. Ath Thalaq [65]:
4).
Jika si istri termasuk wanita yang masih mengalami haid,
tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau
menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia
kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah
tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui
sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung
mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai
dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada
sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita
yang terhenti haidnya karena sebab yang tak jelas; maka iddahnya yaitu satu
tahun penuh dengan perhitungan, sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk
kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan
masa iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang
suami belum mencampuri dan menggauli istrinya, maka dalam hal ini tidak ada
iddahnya sama sekali, baik dalam keadaan haid maupun yang lain. Berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..”
(QS. Al Ahzaab [33]: 49).
9.
KEPUTUSAN BEBASNYA RAHIM.
Yakni bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan,
selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan
beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita
(istri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si
wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh
menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas
kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak
warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka
kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan, karena
kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya
haid.
10 . KEWAJIBAN
MANDI
Wanita yang lagi haid, jika telah suci wajib mandi dengan
membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
إِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Bila
kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan
kerjakan shalat" (HR. Al Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh anggota
badan dengan air sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. Yang lebih
utama, adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tatkala ditanya oleh Asma' binti sahl tentang mandi haid, beliau
bersabda:
تَأْخُذُ
إِحْدِاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتُطَهِّرَ فَتُحْسِنَ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ
شُؤُوْنَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ،
ثُمَّ تَأْخُذُ فُرْصَةً مُمسَكَة - أَيْ قِطْعَةَ قُمَّاشٍ فِيْهَا مِسْكٌ-
فَتُطَهِّر بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تُطَهِّرُ بِهَا؟ فَقَالَ:
سُبْحَانَ الله، فَقَالَتْ عَائِشَـةُ لَهَا: تَتْبَعِيْنَ
أَثَرَ الدَّمِ
“Hendaklah
seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan
sempurna, kemudian mengguyurkan air ke bagian atas kepala dan menggosok-gosokkannya
dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air
pada anggota badannya, setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada
pengharumnya untuk bersuci dengannya. Asma’ bertanya:” bagaimana bersuci
dengannya? Nabi menjawab: “Subhanallah”. Maka Aisyah menerangkan dengan
berkata:” Ikutilah bekas-bekas darah”. (HR. Muslim).
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat
kuat dan dikawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada
hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu
‘anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنِّيْ امْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ: لِلْحَيْضَةِ وَالجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: لاَ إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْنَ
“Aku
seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi
junub? menurut riwayat lain: untuk (mandi) haid dan junub? Nabi bersabda:
“Tidak, cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu) lalu kau
guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci”.
Apabila wanita yang sedang haid mengalami suci di
tengah-tengah waktu shalat, maka ia harus segera mandi agar dapat mendapatkan
shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau
ada air tapi takut membahayakan dirinya jika menggunakan air, atau dalam
keadaan sakit dan berbahaya baginya jika menggunakan air, maka ia boleh
bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya tidak ada
lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu
shalat tetapi menunda mandi pada waktu lain, dalihnya: “tidak mungkin dapat
mandi dengan sempurna pada waktu sekarang ini”. Akan tetapi ini bukan alasan
ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib
dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang,
barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
PASAL V
ISTIHADHAH DAN
HUKUM-HUKUMNYA
1.
MAKNA ISTIHADHAH.
Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang
wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua
hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus- menerus
tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al Bukhari dari Aisyah Radhiayallahu
‘anha bahwa Fathimah binti Abu
Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ. وفي رواية: أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر
“Ya
Rasulullah, sungguh aku istihadhah (tak pernah suci)” Dalam riwayat lain: “Aku
mengalami istihadhah, maka tak pernah suci”.
Dalam kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali
sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُوْلَ
الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً
“Ya
Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi dengan menyatakan shahih, disebutkan pula
bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al Bukhari hasan.)
2.
KONDISI WANITA MUSTAHADHAH.
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
a. Sebelum
mengalami istihadhah, ia mengalami haid yang jelas waktunya.
Dalam kondisi ini, hendaknya ia berpedoman
kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung
sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut
merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari
pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar
terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan,
sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha bahwa Fathimah binti Abi hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَا
رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ قَالَ:
لاَ، إِنَّ ذَلَكَ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ
كُنْتَ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Ya
Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah, maka tidak pernah suci, apakah
aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: “tidak, itu adalah darah penyakit.
Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu,
kemudian mandilah dan lakukan shalat” (HR. Al Bukhari).
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy:
امْكُثِيْ
قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Diamlah
(tinggalkan shalat) selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah
dan lakukan shalat”.
Dengan demikian, wanita yang dalam istihadhah yang haidnya
sudah jelas waktunya, maka ia menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu
mandi dan shalat, meskipun darah pada saat itu masih keluar.
b. Tidak
mempunyai masa haid yang jelas sebelum mengalami istihadhah, karena darah
istihadhah tersebut terus-menerus keluar pada dirinya, sejak pertama kali ia
mendapati darah.
Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz
(pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau
maka yang terjadi adalah darah haid, dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan
jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya
hukum-hukum istihadhah.
Misalnya; seorang wanita pada saat pertama kali mendapati
darah, dan darah itu keluar terus-menerus, akan ia dapati selama sepuluh hari
dalam sebulan darahnya berwarna hitam, kemudian setelah itu berwarna merah,
atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian
setelah itu encer, atau ia dapati selama
sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau.
Maka haidnya yaitu: darah yang berwarna hitam (pada kasus pertama). Darah
kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (pada kasus ketiga) dianggap
sebagai darah haidh.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Fathimah binti abu Hubaisy:
إِذَا كَانَ
دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ
عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ
عِرْقٌ
“Jika
suatu darah itu darah haid, maka ia berwarna hitam diketahui, jika demikian
maka tinggalkan shalat. Jika selain itu maka berwudhulah dan lakukan shalat
karena itu darah penyakit. (HR. Abu dawud, An Nasai dan dinyatakan shahih oleh
Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad
dan matannya, namun telah diamalkan oleh para ulama’. Dan hal ini lebih utama
daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
c.
Tidak mempunyai haid yang
jelas waktunya, dan darah yang keluar tidak bisa dibedakan secara tepat.
Seperti jika istihadhah yang dialaminya terus- menerus mulai dari saat pertama
kali melihat darah. Sementara darahnya hanya satu sifat saja, atau berubah-ubah
dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid.
Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil
kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh
hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah.
Sedang selebihnya merupakan darah istihadah.
Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali melihat
darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan
secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain.
Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari mulai dari
tanggal lima tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu
‘anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ
الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ
مَنَعَتْنِي الصَّلاَةَ وَالصِّيَامَ، فَقَالَ: أَنْعَتُ لَكِ (أَصِفُ لَكِ
اسْتِعْمَالَ) الكُرْسُفَ (وهو القطن) تَضَعِيْنَهُ عَلَى الفَرجِ فَإِنَّهُ
يُذْهِبُ الدَّمَ قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ. وَفِيْهِ قَالَ: إِنَّمَا
هَذَا رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَان، فَتَحِيْضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ
سَبْعَةَ فِيْ عِلْمِ الله تَعَالَى، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ
أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ أَوْ
ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُوْمِيْ
“Ya
Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali, lalu
bagaimana pendapatmu tentang itu karena telah
menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: “Aku beritahukan kepadamu
(untuk menggunakan) kapas dengan melekatnya pada farji (kemaluan) karena hal
itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “Darahnya lebih banyak dari pada
itu”. Nabipun bersabda: “ini hanyalah salah satu usikan syaitan. Maka hitunglah
haidmu 6 atau tujuh hari menurut ilmu Allah subhanahu wa ta'ala, lalu mandilah
sampai kamu merasa lebih bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 23
hari, dan puasalah" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi. Menurut Ahmad dan
At Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al Bukhari adalah hasan)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “6 atau 7 hari“
tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan
cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang
lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya
serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan
pertimbangan-pertimbangan yang lainnya. Jika kondisinya lebih mendekati yang selama
enam hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari, tetapi jika kondisinya lebih
mendekati yang 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
3.
HAL
WANITA YANG MIRIP ISTIHADHAH.
Kadang kala seorang wanita, karena suatu sebab, mengalami
pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya,
hal ini ada dua macam:
a. Diketahui bahwa si wanita tak mungkin haid
lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang
mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya
hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati
cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu tidak boleh
meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi
karena keluarnya darah, tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak
shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (pembalut wanita) pada
farjinya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu seperti berwudhu
untuk shalat. Tidak boleh ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk
waktunya. Jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu;
jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya,
seperti shalat sunnah yang mutlak.
b. Tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa
haid lagi setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi, maka berlaku
baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
إِنَّمَا
ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِالحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَاتْرُك
الصَّلاَةَ
“Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid, jika datang haid maka
tinggalkan shalat”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ jika
datang haid ..” menunjukkan bahwa mustahadhah berlaku bagi wanita yang
berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti. Adapun wanita yang tidak
berkemungkinan haid maka darah yang keluar, pada prinsipnya dihukumi sebagai
darah penyakit.
4.
HUKUM – HUKUM
ISTIHADHAH.
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita
mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah
istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya
hukum-hukum haid, sedang jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku
pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan dimuka.
Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum tuhr (keadaan
suci). tidak ada perbedaan antara wanita mustahadhah dan wanita suci, kecuali
dalam hal berikut ini:
a.
Wanita mustahadhah wajib
berwudhu setiap kali hendak shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
ثُمَّ
تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ
“Kemudian berwudhulah setiap kali hendak shalat (HR. Al Bukhari,
Bab: membersihkan darah).
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak
berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk
waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada
saat hendak melakukannya.
b.
Ketika hendak berwudhu,
membersihkan sisa-sia darah dan melekatkan kapas (pembalut) pada farjinya untuk
mencegah keluarnya darah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Hamnah:
أَنْعَتُ
لَكِ الكُرْسُف فَإِنَّه يُذْهِبُ الدَّمَ قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ،
قَالَ: فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَتَلَجَّمِيْ
“Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal
itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “darahnya lebih banyak dari pada
itu, beliau Bersabda: “Gunakan kain!” Kata Hamnah: Darahnya masih banyak pula”
Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan
tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
اجْتَنِبِيْ
الصَّلاَةَ أَيَّامَ تَحِيْضُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ،
ثُمَّ صَلِّيْ، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ رواه أحمد وابن ماجه.
“Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah
dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes
di atas alas” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
c.
Jima’ (senggama).
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi di mana bila
ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh
secara mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau lebih, mengalami
istihadhah pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara Allah
dan Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah:
فَاعْتَزِلُواْ
النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ
“... Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid …” (QS. Al Baqarah [2]: 222).
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak
wajib menjauhkan diri dari istri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita
mustahadhah, maka jima’pun lebih boleh. Dan tidak benar jima’ wanita
mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama,
bahkan menurut pendapat para ulama menyatakan haram (mengkiaskannya). Sebab
mengkiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.
PASAL VI
NIFAS DAN
HUKUM-HUKUMNYA
1.
MAKNA NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan
kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2
atau 3 hari) yang disertai rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang
dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah darah nifas”. Beliau
tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang
kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu
ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya
"tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh pembawa syariat"
hal. 37: “Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada
seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti,
maka itu adalah darah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah
kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu
merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, pada
hal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak
tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu
sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena
selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa
haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti selama
masa (40) hari, maka hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya
untuk dia pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya terus-menerus
keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada
hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam
keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat,
berpuasa, dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah
itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan
dalm kitab Al Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita
melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia, seandainya ia mengalami keguguran
dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukan
darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia
adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari.
Menurut Al Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam
kitab syarhul Iqna’: “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai
rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas).
Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila
sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali
mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku
hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban”.
2. HUKUM –HUKUM NIFAS
Hukum-hukum
nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal
berikut ini:
a.
Iddah.
Dihitung dengan terjadinya talak,
bukan dengan nifas. Sebab jika talak jatuh sebelum istri melahirkan, iddahnya
akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh
setelah melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah
dijelaskan.
b.
Masa
ila’. Masa haid termasuk masa
ila’, sedangkan masa nifas tidak.
Ila’ yaitu:
jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri
menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat
bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya,
atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila
si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap suami, dan ditambahkan atas
empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap
dihitung terhadap sang suami.
c.
Baligh.
Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena
seorang wanita tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang
wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d.
Darah haid jika berhenti lalu
kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah
haid. Misalnya seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah
empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari
ketujuh dan kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang
itu adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari
kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena
itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada
waktunya, dan terlarang baginya apa yang terlarang
bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha’
apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu hal-hal yang
wajib diqadha wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha’
dari madzhab Hanbali.
Pendapat yang benar, jika darah
itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka
termasuk darah nifas. Jika tidak, maka ia darah haid; kecuali jika darah itu keluar terus-menerus maka
merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan
dalam kitab Al Mughni juz I, hal. 349, bahwa Imam Malik mengatakan:
“Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni sejak
berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid”.
Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam
masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing
orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al
Qur’an dan sunnah berisi penjelasan atas segala
sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua
kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat
diatasi dengan mengqadha’. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban
sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari tanggungannya,
sebagaimana firman Allah:
لاَ
يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.
Al-Baqarah [2]: 286).
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(QS. At- Taghabun [64]:
16).
e.
Dalam haid, jika si wanita
suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang
menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka
suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Tapi pendapat yang benar,
menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab
tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat
yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa istrinya
datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: “Jangan kau
dekati aku!”.
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin
saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci
benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab
lainnya. Wallahu a’lam.
PASAL VII
PENGGUNAAN ALAT
PENCEGAH
ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH
KEHAMILAN DAN
PENGGUGUR KANDUNGAN
1. PENCEGAH HAID
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid,
dengan dua syarat:
a.
Tidak dikhawatirkan
membahayakan dirinya, bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena
menggunakan alat tersebut, maka hukumnya
tidak boleh. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَلاَ
تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“…Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.." (QS. Al
Baqarah [2]: 195).
وَلاَ
تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“…Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu” (QS. An Nisaa' [4]: 29).
b.
Dengan seizin suami, apabila
penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan dengannya. Contohnya; si istri dalam
keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi nafkah kepadanya,
menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama iddahnya dan bertambah nafkah
yang diberikannya. Hukumnya tidak boleh bagi si istri menggunakan alat pencegah
haid saat itu kecuali dengan seizin suami. Demikian
juga jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan, maka
harus dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak
menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan
sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan
keselamatan.
2. PERANGSANG
HAID
Diperbolehkan juga menggunakan alat perangsang haid, dengan
dua syarat:
a.
Tidak menggunakan alat tersebut
dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya; seorang wanita
menggunakan alat perangsang haid pada saat manjelang Ramadhan dengan tujuan
agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
b.
Dengan seizin suami, karena
terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami-istri. Maka tidak
boleh bagi si wanita menggunakan alat yang dapat menghalangi hak suami kecuali
dengan restunya. Dan jika istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut
akan mempercepat gugurnya hak rujuk bagi suami jika ia masih boleh rujuk.
3. PENCEGAH KEHAMILAN
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
a.
Penggunaan alat yang dapat
mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat
menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan
hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
agar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada
semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa
anak.
b.
Penggunaan alat yang dapat mencegah
kehamilan sementara, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat
baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun
sekali, maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan
alat tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah
melakukan azl terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Azl yaitu tindakan - pada saat
bersenggama - dengan menumpahkan sperma di luar farji (vagina) istri.
4. PENGGUGUR KANDUNGAN
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan ada dua macam:
a.
Penggunaan alat penggugur
kandungan yang bertujuan membinasakan janin, jika janin sudah mendapatkan ruh,
maka tindakan ini tak diragukan lagi adalah
haram, karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar.
Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’
kaum muslimin. Namun jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang.
Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk segumpal darah, artinya
sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk
manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan
tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan. Misalnya,
seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan
kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggugurkan
kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia
maka hal ini tidak diperbolehkan. Wallahu A’lam.
b.
Penggunaan alat penggugur
kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya
mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa
kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan
syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya yang tidak memerlukan
operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
1)
Jika ibu dan bayi yang
dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali
dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga
perlu dioperasi. Demikian, karena tubuh adalah amanat Allah subhanahu wa
ta'ala yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh
memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang
amat besar. Selain itu, dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini,
tetapi ternyata membawa bahaya.
2)
Jika ibu dan bayi yang di
kandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk
mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
3)
Jika si ibu hidup, sedangkan
bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk
mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan dapat membahayakan si ibu.
Sebab menurut pengalaman wallahu a’lam bayi yang meninggal dalam
kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalaupun dibiarkan
terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan ibu pada masa mendatang dan
merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia
dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
4)
Jika si ibu meninggal dunia,
sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang
dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan
operasi. Namun jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah
keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk
mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi jika sebagian tubuh bayi belum ada yang
keluar maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan
terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, karena hal itu
merupakan tindakan penyiksaan.
Pendapat yang benar, boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika
tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah.
Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :" pendapat ini yang lebih utama”.
Apalagi pada zaman sekarang ini, operasi bukanlah merupakan
tindakan penyiksaan. Karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan
kehormatan orang yang masih hidup lebih besar dari pada orang yang sudah
meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran
adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara,
maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.
PERHATIAN:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur
kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran) harus ada
izin dari pemilik kandungan yaitu suami.
PENUTUP
Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul yang penting ini. Sengaja kami batasi pembahasan pada
pokok masalah dan kaidah umum. Jika tidak, maka segala cabang dan bagian
masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudra
tak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan
bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan
segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh seorang mufti (pemberi fatwa) bahwa
dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan
ajaran yang dibawa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjelaskan kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al- Qur’an dan
sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami
dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan sunnah adalah salah, dan wajib ditolak, siapapun orang
yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang
mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad, tetapi orang lain yang
mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena
Allah subhanahu wa ta'ala, selalu memohon maunah-Nya dalam segala
kondisi yang dihadapi, meminta kehadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada
kebenaran.
Al-Qur’an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia
mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk
memahami keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari
pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan
hukumnya, bahkan mungkin tidak ditemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi
setelah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan
itu dengan mudah dan gamblang. Hal itu sesuai dengan
keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa
dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak
hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata
salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan fatwa yang terlanjur disampaikan tidak
bisa diluruskan.
Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti,
ucapannya akan dipercaya dan diperhatikan, tetapi jika dikenal ceroboh yang
sering kali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang.
Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan
orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita dan
kaum muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga
kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada
Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah,
dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.