BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana supaya Manusia mentaati perintah Allah Swt. yang memerintahkan taat kepada Ulil amri diantara ummat Islam sebagaimana perintah kepada mukminin mentaati Allah dan Rasul-Nya?, seferti Firman Allah Swt. dalam QS. An-Nisa ayat 59.
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami/ mengetahui penjelasan Dalil-dalil, baik dalil dalam Al-qur’an, Al-Sunnah, Ijma dan Qiyas Para Ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DALIL PERTAMA ( AL-QUR’AN )
1. Keistimewaannya
Al-qur’an adalah kalam (diktum) Allah Swt. Yang diturunkan oleh-Nya dengan perantara Malaikat Jibril kedalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah dengan lafazh (kata-kata) bahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasul Saw. Dalam pengakuan sebagai Rasulullah. Juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya. Ia di tadwinkan di antara dua lembar mushaf yang di mulai dengan surat al-fatihah dan di tutup dengan surat an-nas yang telah sampai kepada kita secara teratur, baik dengan bentuk tulisan atau lisan, dari generasi ke generasi lain, dengan tetap terpelihara dari perubahan dan penggantian. Hal ini telah dibenarkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr ayat 9).
Diantar keistimewaan Al-qur’an, ialah lafal dan maknanya itu dari sisi Allah Swt. Dan lafal yang berbahasa Arab itu diturunkan oleh-Nya ke dalam hati Rasul-Nya. Sedangkan Rasul tidak lain adalah membacakan Al-qur’an dan menyampaikannya.
2. Kehujjahannya
Alasan ( efidence ) bahwa Al-qur’an adalah hujjah atas umat manusia, dan hokum-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti (ditaati) olehnya ialah: bahwa Al-qur’an itu dari sisi Allah Swt. Dan di sampaikannya kepada umat manusia dari Allah Swt dengan jalan yang pasti, tidak terdapat keraguan mengenai kebenaranya. Sedamngkan bahwa dia dari sisi Allah, berupa mukjizatnya melemahkan ummat manusia untuk mendatangkan semisalnya.
3. Segi Kemukjizatannya
Pendapat Ulama telah sepakat bahwasanya Al-qur’an tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan Al-qur’an hanya karena satu asfek saja, akan tetapi karena beberapa asfek, baik asfek lafzhiyah (morfologi), ma’nawiyah (semantic) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan (interchangeable) dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawaninya. Para Ulama juga telah sepakat bahwa sampai sekarang akal tidak mampu menjangkau asfek-asfek kemukjizatan Al-qur’an secara keseluruhan, atau meringkasnya dalam asfek yang terhitung. Dan bahwasanya akal itu setiap kali merenung-renungkan ayat Al-qur’an, atau dengan pembahasannya secara ilmiah telah dapat menyingkap rahasia-rahasia alam dan hukumnya, atau dapat melahirkan keajaiban-keajaiban alam yang hidup dan yang tidak hidup dari roda peputaran tahun.dengan demikian akan jelaslah asfek kemukjizatan Al-qur’an dan sekaligus akan dapat menemukan bukti, bahwa ia adalah di turunkan dari sisi Allah Swt.
Dibawah ini akan kami sebutkan sebagai kemukjizatan Al-qur’an yang telah dapat dicapai oleh akal.
1. Keharmonisan uslub bahasanya, maknanya, hukumnya dan teorinya.
2. Persesuaian ayat-ayatnya menurut teori-teori yang telah disingkapkan oleh ilmu pengetahuan.
3. Memberitakan hal-hal kejadian yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah Swt yang maha mengetahui hal-hal yang gaib.
4. Kefashohan lafazhnya, kebalaghohan ungkapan bahasanya dan kekuatan pengetahuannya.
4. Macam-Macam Hukumnya
Hukum yang dikandung oleh Al-qur’an ada tiga macam, antara lain:
1. Hukum-hukum aqidah (keimanan), yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, mengenai malaikat-Nya, para Rasul-Nya dan Hari kemudian (doktrin aqoid)
2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dijadikan pehiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (doktrin akhlak)
3. Hukum-hukum amaliyah yang bersangkut-paut dengan dengan hal-hal tindakan setiap mukallaf, meliputi masalah ucapan, perbuatan, akad (contract) dan pembelanjaan (pengelolaan harta benda). Macam yang ketiga ini adalah Fikhul Qur’an. Dan inilah yang dimaksud dapat sampai kepadanya dengan Ilmu Ushul Fiqh. (doktrin Syari’ah/Fiqh)
Hukum-hukum amaliyah dalam Al-qur’an terdiri atas dua cabang hukum, yaitu:
a. Hukum-hukum ibadah, seperti: shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mempunyai arti mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Hukum-hukum mu’amalah, seperti: akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat (pidana), dan lain-lain selain ibadah.
5. Makna (Dalalah) Ayat-Ayatnya Yang Qoth’i Ataupun Yang Zhonni.
Nash-nash Al-qur’an semuanya adalah pasti (Qoth’i) bila ditinjau dari datangnya, ketetapanya, dan dinukilkannya dari Rasul Saw kepada kita. Artinya kita memastikan bahwa setiap nash Al-qur’an yang kit abaca itu adalah hakikat nash Al-qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Dan disampaikannya oleh Rasul Saw yang ma’shum kepada ummatnya tanpa perubahan atau penggantian. Karena Rasul ma’shum itu, ketika turun kepadanya sebuah surat, atau satu ayat, maka disampaikannya kepada para sahabatnya, dibacakannya kepada mereka dan ditulis oleh juru tulis wahyunya. Bahkan diantara sahabatnya ada yang menulisnya utuk dirinya sendiri. Diantara mereka banyak yang menghafal dan membacanya dalam shalat mereka. Merekapun beribadah dengan cara membacanya pada seluruh waktu mereka. Tidaklah Rasul Saw itu wafat, kecuali ayat dari Al-qur’an telah di tadwinkan (dibukukan) menurut kebiasaan pentadwinan orang Arab. Ayat-ayat tersebut juga sudah di hafal oleh sebagian besar ummat islam. Abu Bakar Assidiq telah mengumpulkan Al-qur’an dengan perantara Zaid bin Tsabit dengan sebagian para sahabat yang dikenal hafalannya dan penulisannya menurut pentadwinan tersebut, dihimpunnya satu sama lain menurut urutan yang pernah dibacakan Rasul Saw kepadanya dan kepada para sahabatnya pada masa hidupnya.
B. DALIL KEDUA ( AL-SUNNAH )
1. Depinisinya
Al-Sunnah menurut istilah syara ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah Saw, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan taqriri.
Al-Sunah qauliah yaitu hadits–hadits Rasulullah Saw yang di ucapkan dalam berbagai tujuan dan situasi seperti sabda Rasulullah Saw.
لاَضَرَرُ وَلَاضِرَارَ
Artinya : Tidak boleh membuat kemadlorotan dan tidak boleh membalas dengan kemadlorotan.
Al-Sunah Fi’liyah, yaitu: perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad Saw. seperti pekerjaan melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam dengan sunnah kaifiyahnya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Al-Sunnah taqririyah, yaitu: perbuatan sebagian para Sahabat Nabi yang telah di ikrarkan oleh Nabi Saw, baik perbuatan itu berbentuk itu ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, atau tidak menunjukan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya,
2. Kehujahannya
Ummat Islam telah sepakat bahwasanya apa yang telah keluar dari Rasullullah Saw. baik ucapan atau perbuatan dan atau taqriri, yang dimaksud dengan itu membentuk hukum syariat islam atau tuntunan dan disampaikan kepada kita dengan sanad yang sohih yang mendatangkan kepastian yang kuat, maka kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas ummat islam.
Bukti-bukti atas kehujjahan Al-sunnah yaitu:
a. Nash-Nash Al-qur’an
Karena Allah Sw.t dalam beberapa ayat kitab Al-qur’an telah memerintahkan mentaati Rasulnya. Menurutnya taat kepada Rasulnya berarti taat kepada-Nya. Allah telah berfirman dalam QS. Ii-Imran ayat 32 dan QS. An-Nisa ayat 80.
Artinya : Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
b. Ijma Para Sahabat
Pada masa hidup Nabi mereka melaksanakan hukum-hukumnya dan menjalankan segala perintah serta larangannya, hukum halal serta hukum haramnya. Dalam keharusan mengikuti mereka tidak membedakan diantara hukum yang diwahyukan kepadanya dalam Al-qur’an dan hukum yang keluar dari Nabi sendiri.
c. Dalam Al-qur’an
Allah Swt telah mewajibkan kepada manusia beberapa ibadah pardlu secara gelobal tanpa penjelasan (secara rinci), tidak dijelaskan di dalamnya mengenai hukum-hukumnya atau cara melaksanakannya maka Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 77 dan QS. Ali-Imran ayat 97.
Artinya : “Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat..."
Artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah…”
Allah tidak menjelaskan tentang bagaimana didirikan Shalat atau menunaikan Zakat atau amal ibadah haji. Tetapi Rasulullah Saw telah menjelaskan keglobalan ini dengan sunnah qauliyahnya atau sunnah amaliyahnya.
Kalau seandainya Al-Sunah yang menjelaskan itu bukan hujjah atas ummat islam dan bukan sebagai undang-undang yang harus diikutinya, maka tidak mungkin mengikuti hukum-hukum Al-qur’an. Karena semua Al-Sunah sumbernya adalah Rasul yang ma’shum yang telah diberi oleh Allah kekuasaan untuk menjelaskan dan untuk membentuk hukum syariat islam.
3. Nisbahnya Kepada Al-qur’an
Adapun hubungan Al-Sunah kepada Al-qur’an dari segi dijadikan hujjah, dan kembali kepadanya dalam mengeluarkan hukum-hukum syariat. Karena Al-qur’an adalah sumber pokok dalam pembentukan hukum islam dan sebagai sumber yang pertama.
Sedangkan hubungannya dari segi hukum yang datang didalamnya maka tidakla melebihi salah satu diantara tiga hal berikut ini.
a. Adakalanya al-sunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dala Al-qur’an.
b. Adakalanya al-sunah itu merinci, menafsiri hal-hal yang telah datang didalam Al-qur’an secara global.
c. Adakalnya al-sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak dibenarkan Al-qur’an.
Jadi kesimpulannya bahwa hukum yang datang dalam al-sunnah itu adakalanya menetapkan kepada hukum-hukum Al-qur’an atau menjelaskannya dan adakalanya hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-qur’an, yang ditetapkan secara kisah menurut nash yang ada di dalam Al-qur’an, atau dengan menerapkan pokok dan dasar-dasarnya yang umum. Dari sini tampak jelas bahwa tidak mungkin terjadi perbedaan dan kontradiksi diantara Al-qur’an dan Al-sunnah.
4. Pembagiannya Menurut Sanad
Pembagian al-sunnah menurut perawi dari Rasul Saw adalah terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Sunnah Mutawaatirah
Sunnah Mutawaatirah ialah, sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya, perorangan-perorangan para Rawi tidak mungkin sepakat untuk berbuat bohong.
2. Sunnah Musyhuroh
Sunnah Masyhuroh ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw oleh seorang atau dua atau sekelompok sahabat Rasul yang tidak sampai kepada tingkat kelompok tawatur (perawi hadist mutawatir), kemudian kelompok dari kelompok-kelompok tawatur meriwayatkan hadits tersebut dari satu orang Rawi ini atau beberapa orang Rawi. Dan dari kelompok ini dariwayatkan oleh kelompok lain yang sepadannya, sehingga sampai kepada kita dengan sanad yang kelompok pertamanya mendengarkan ucapan Rasulullah Saw atau menyaksikan perbuatannya. Perawi tersebut terdiri dari satu orang, atau dua orang, yang belom mencapai tingkat kelompok tawatur.
3. Sunnah Aahaad
Sunnah Aahaad ialah, sunnah yang diriwayatkan oleh satuan yang tidak sampai kepada tingkat kelompok tawatur.
C. DALIL KETIGA ( AL-IJMA )
1. Definisinya
Ijma menurut istilah Ulama Ushul (ushuliyin) ialah, kesepakatan semua mujtahidin diatara ummat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah Saw atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian/kasus. Definisi ini hanya ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah Saw, karena ketika beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai hukum syariat islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan dapat terwujud kecuali dari beberapa orang.
2. Sendi-Sendinya
Berdasarkan fatwa mengenai definisi Ijmam, terdapat keterangan bahwa ijma ialah kesepakatan para mujtahid ummat islam pada suatu masa atas hukum syariat islam. Dari sini dapat diambil kkesimpulan bahwa sendi Ijma yang menjadi syarat terbentuknya ijma menrut syara ada empat, antara lain:
1. Adanya sebilangan para Mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan lainnya. Dari itulah tidak ada ijma pada masa Rasulullah Saw. Karena pada waktu itu beliau sendiri lah Mujtahid itu.
2. Adanya kesepakatan semua Mujtahid ummat islam atas suatu hukum syara mengenai peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandangg negri mereka, kebangsaan atau kekelompokan.
3. Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pandangan masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu bentuk ucapan (qauli), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau bentuk perbuatan (fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian.
4. Dapat direalisir kesepakatan dari semua Mujtahid atau suatu hukum.
3. Kehujjahannya
Bukti atas kehujjahan Ijma adalah hal-hal seperti berikut:
1. Dalam Al-qur’an Allah Swt memerintahkan taat kepada Ulil amri diantara ummat Islam sebagaimana perintah kepada mukminin mentaati Allah dan Rasul-Nya.
2. Bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid ummat islam, pada hakikatnya adalah hukum ummat islam yang dipernakan oleh para Mujtahidin.
3. Bahwasanya Ijma atas hokum syar’i itu harus disadarkan kepada tempat bersandarnya syar’i, karena mujtahid islam itu mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.
4. Macam-Macamnya
Adapun ijma dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam, yaitu:
1. Ijma’ Shorikh (The Real Ijma’). Yaitu kesepakatan para Mujtahid suatu masa atas hokum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas dengan system fatwa atau qodho’ (member keputusan).
2. Ijma’ Sukuti (The Silent Ijma’). Yaitu sebagian para Mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan system fatwa atau qodho’ sedang sebagian (Mujtahid) tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokannya atau perbedaannya.
D. DALIL KEEMPAT ( AL-QIYAS )
1. Definisinya
Qiyas menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalm hokum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalamm illat hukumnya.
Dibawah ini beberapa contoh Qiyas syar’iyah dan wadh’iyah yang dapat menjelaskan definisi diatas.
a. Meminum khamer (arak) adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu pengertian haram yang diambil dari pengertian sebuah ayat:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu…”. (QS Al-Maidah ayat 90)
b. Pembunuhan yang dilakukan oleh akhli waris terhadap yang mewariskan, adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu melarang pembunuhan dari memperoleh harta pusaka yang diambil dari sebab Nabi Muhammad Saw bersabda:
لاَيَرِثُ اْلقَاتِلُ
Artinya : “Tiidaklah mendapat bagian harta pusaka, seorang yang melakukan pembunuhan”.
c. Jual beli pada waktu datangnya panggilan azan salat jumat adalah kejadian yang sudah ditetapkan hukumnya dalam nash, yaitu makruh, yang diambil dari firman Allah dalam QS. Al-Jumuah ayat 9:
Arinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.
d. Kertas yang telah dibubuhi tanda tangan diatasnya adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu bahwa kertas itu sebagai hujjah atas pemberi tanda tangan yang diambil dari dalil berupa nash (teks) undang-undang perdata, karena illat bahwa membubukan tanda tangan adalah sebagia bukti bagi pemberi tanda tangan.
e. Pencuri yang dilakukan (oleh salah-satu diantara keluarga yang terdiri dari anak bapak dan anak atau antara suami-istri, tidak boleh menghukum pelakunya kecuali ada tuntutan dari fihak korban, menurut undang-undang ‘uqubat (pidana), dan perbuatan ghasab (menggunakan hak milik orang lain tanpa izin) atau merampas harta benda (milik orang lain) secara kekerasan dan atau mmengeluarkan cek kosong, atau perbuatan paksa dan kekerasan, karena ada hubungan kerabat dan suami-istri, semua ini diqiyaskan kepada perbuatan mencuri.
2. Kehujjahannya
Menurt pendapat Juhur Ulama Islam, bahwa Qiyas adalah juga hujjah syar’iyah atas hokum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyah), dan ia memnduduki martabat yang keempat diantara hujjah-hujjah syar’iyah dengan pengertian, apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu, hukum menurut nash atau ijma, akan tetapi terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang telah terdapat hukumnya dalam nash, maka diqiyaskan kejadian yang pertama itu kepada kejadian yang kedua, jadi diberi hukum menurut hukumnya, dan hukum ini adalah ketetapan menurut syara. Jadi seorang mukallaf harus mengikuti dan mengamalkannya. Sedangkan para Jumhur Ulama tersebut disebut orang yang menetapkan qiyas (Mutsbitulqiyas).
Sedangkan mazhab Nizhomiyah Zhohiriyah, juga sebagian kelompok syiah, berpendapat; bahwa Qiyas bukanlah hujjah syr’iyah atas hukum. Mereka itulah yang disebut pembuang Qiyas (Nufatul Qiyas).
3. Beberapa Dalil Ulama Yang Menetapkan Al-Qiyas
Orang-orang yang menetapkan Qiyas, mengambil dalil Al-qur’an dan al-Sunnah ucapan dan perbuatan para sahabat, serta hal-hal yang ma’qul (masuk akal).
Al-qur’an yang paling jelas mereka pergunakan sebagai dalil adalah tiga ayat, yaitu dalam QS. An-Nisa ayat 59 , QS. Al-Hasyr ayat 2 dan QS. Yasin ayat 79.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Artinya : “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Artinya : “Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Sedangkan al-sunnah, dalil yang merka ambil dari pendapat yang jelas ada dua, yaitu:
1. Hadis Mu'azd bin Jabal, bahwa Rassulullah Saw ketika hendak mengutusnya ke Negri Yaman, beliau bersabda kepadanya: bagaimana kamumnegadiali apabila dimintakan kepadamu suatu keputusan? Mu’az menjawab: “saya akan mengadili dengan sunnah Rasulullah. Jika tidak saya dapat, maka saya berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak lengah”. Maka Rsulullah menepuk dadanya seraya bersabda: “segala puji bagi Allah, yang telah member taupik kepada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhoinya”.
2. Menurut ketetapan al-sunnah yang sohih, bahwa Rasulullah Saw pada beberapa kejadian yang dihadapkan kepadanya , dan belum diberi wahyu mengenai hukumnya, maka beliau mengambil dalil mengenai hukumnya dengan jalan Qiyas.
E. DALIL KELIMA ( AL-ISTIHSAN )
1. Definisinya
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas khafi (Qiyas samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu:
a. Segi nyata yang menghendaki suatu hukum.
b. Segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain.
2. Macam-Macamnya
Dari definisi Al-Istihsan menurut syara maka jadi jelas bahwa Al-Istihsan itu ada dua macam:
a. Mengenakan Qiyas Khafi atau Qiyas Jali dengan dalil.
b. Mengecualikan juz’iyah dari hukum Kulli dengan dalil.
Dalam tiap contoh dari contoh-contoh tersebut terjadilah kontradiksi dua Qiyas dalam suatu kejadian. Pertama, yaitu Qiyas Jali yang mudah memahaminya. Kedua, Qiyas Khafi yang sulit memahaminya, dan seorang Mujtahid telah memiliki dalil yang menerangkan Qiyas Khafi. Perpindahan inilah yang disebut al-Istihsan. Sedangkan dalil yang dijadikan dasar itu ialah jalan Istihsan.
Diantara contoh-contoh macam kedua yaitu, syar’i telah melarang menjual atau mengadakan perjanjian kontrak (aqad) barang yang tiada ditempat akad, tetapi dengan jalan Istihsan ia memperkenankan akad pemesanan akad sewa, akad muzara’ah (menyerahkan sebidang tanah kepada seseorang untuk ditanami dengan upah sebagian dari hasilnya biji atau binih), akad pengairan dan akad minta pekerjaan. Semua itu adalah aqad (kontrak) sedangkan yang diaka di dalam semua akad tersebut adalah tiada ditempat pada waktu akad. Dan jalan Istihsan, yaitu kebutuhan Manusia dan saling kenal mereka.
3. Kehujjahannya
Dari definisi Istihsan dan penjelasan dua macamnya, maka jadi jelas bahwa Istihsan itu pada hakikatnya bukan sumber pembentukan hukum yang tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya adalah Qiyas Khafi yang menang atas Qiyas Jali lantaran factor-faktor yang memenangkan, yang dengan itu menjadi tentram hati seorang Mujtahid, yaitu jalan Istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, diantara macam dalilnya adalah al-Mashlahah, yang menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagian jalan Istihsan.
F. DALIL KEENAM ( AL-MASLAHAH )
1. Definisinya
Maslahah Mursalah (kesejahtraan umum) yakni yang dimutlakan, (maslahah bersifat umum) menurut istilah Ulama Ushul yaitu, Maslahah di mana Syar’I tidak mensyariatkan hokum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahah itu disebut mutlak, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Contohnya yaitu, maslahah yang karena maslahah itu, sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, atau mencetak mata uang, atau menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil kemenangan warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak penghasilannya, atau maslahah-maslahah lain yang harus dituntut oleh keadaan-keadaan darurat kebutuhan dan atau karena kebaikan, dan belum disyariatkan hukumnya, juga tidak terdapat saksi syara yang mengakuinya atau membatalkannya.
Penjelasan definisi ini, yaitu bahwa pembentukan hukum itu tidak dimasukan, kecuali merealisir kemaslahatan ummat manusia. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Dan bahwasanya kemaslahatan ummat manusia itu tidak terungkap bagian-bagiannya, tidak terhingga pula individu-individunya. Dan berkembang menurut perkembangan lingkungan. Sedangkan pembentukan hokum itu, terkadang mendatangkan keuntungan pada suatu zaman dan mendatangkan madharat pada zaman yang lain.
2. Dalil-Dalil Ulama Yang Menjadikan Hujjah Maslahah Mursalah
Jumhur Ulama ummat Islam berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasanya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash dan Ijma atau Qiyas atau Istihsan itu disyariatkan pada hukum yang dihendaki oleh maslahah umum, dan tidk berhenti pembentukan hukum atas dasar masalah ini karena adanya saksi syar’i yang mengakuinya. Dalil mereka menganai hal ini ada dua macam:
a. Yaitu bahwa maslahah ummat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya tidak disyriatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum itu hanya berkisar atas maslahah yang diakui oleh syar’i saja, maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan ummat manusia pada berbagai jaman dan tempat.
b. Bahwasanya orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabi’in dan para mujtahid, maka jadi jelas, bahwa mereka telah mensyriatkan beberapa hukum untuk melearisir maslahah secara umum, bukan karena adanya saksi yang mengakuinya.
3. Syarat-syarat menjadikan Hujjah Maslahah Mursalah
Para Ulama telah yang menjadikan hujjah maslahah murasalah mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidak terjadi pintu bagi pembentukan hukum syari’at menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Karena itu mereka mensyariatkan dalam maslahah mursalah yang dijadikan dasar pembentukan hukum itu tiga syarat sebagai berikut:
a. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, agar dapat direalisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolak madharat.
b. Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini, yang agar dapat dilealisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak madharat dari mereka, dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seorang atau beberapa orang saja diantara mereka.
c. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsif yang telah ditetapkan oleh nash atau Ijma. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menurut adanya kesamaan hak diantara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena maslahah ini adalah maslahah yang dibatalkan.
4. Kesamaran Paling Nyata Dari Ulama Yang Tidak Menjadikan Hujjah maslahah Mursalah
Sebagian Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwa maslah yang tidak disaksikan oleh saksi syara atas pengakuannya dan juga tidak ada pembatalannya, maka ia tidak bisa dijadikan dasar pembentukan hukum. Dalil mereka ada dua hal yaitu:
a. Syariat harus memelihara setiap maslahah ummat manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuk Qiyas, karena syar’i tidak meninggalkan ummat manusia dengan sia-sia. Juga tidak dapat membiarkan maslahah apa saja tanpa member petunjuk pembentukan hukum baginya.
b. Pembentukan hukum atas dasar mutlaknya maslaha berarti telah membuka pintu hawa nafsu orang diantara para pemimpin, para penguasa dan para ulama fatwa, maka sebagian mereka terkadang dikalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, dan maslahah adalah hal-hal yang bersifat kira-kira yang berbeda menurut perbedaan pendapat dan lingkungan. Maka terbukanya pintu pembentukan hukum dengan alasan kemaslahatan yang mutlak telah membuka pitu kejahatan.
G. DALIL KETUJUH ( AL-‘URF )
1. Definisinya
‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi teradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.
Menurut istilah akhli syara, tidak ada perbedaan diantara ‘urf dan adat, maka ‘urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaan tanpa shigot yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak mengitlakan lafal al-lahm yang bermakna daging atas al-samak yang bermakna ikan tawar. Jadi ‘urf adalah terdiri dari saling pengertiaan manusia atas dasar perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan Ijma; karena Ijma itu adalah tradisi dari kesepakatan para Mujtahidin secara khusus, dan umum tidak termasuk ikut membentuk didalamnya.
2. Macam-Macamnya
‘Urf itu ada dua macam, yaitu: ‘urf sohih dan ‘urf fasid (rusak). ‘urf sohih ialah sesuatu yang sudahh saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang kontrak pemborongan, atau saling mengerti mereka tentang pembagian maskawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan dan yang diakhirkan. Juga saling mengerti mereka bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya kecuali apabila dia telah menerima sebagian dari maharnya. Dan saling mengerti mereka pula bahwa sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon istri yang berupa perhiasan atau pakaian adalah termasuk hadiah dan bukan sebagian dari mahar.
Adapun ‘urf fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi sesuatu itu bertentangan dengan syara, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak dan dalam tempat kedukaan. Juga saling mengarti tentang makna riba dan kontrak judi.
3. Hukumnya
Bagi seorang Mujtahid harus memelihara dan dalam bentuk hokum. Seorang Qodhi (hakim) juga harus memelihara ketika mengadili, karena sesuatu yang sudah saling dikenal manusia tetapi tidak menjadi adat kebiasaan, maka sesuatu yang disepakati, dan dianggap ada kemaslahatannya, selama sesuatu itu tidak bertentangan dengan syara maka harus dipelihara. Dan syari’ telah memelihara ‘urf bangsa Arab yang sahih dalam membentuk hokum, maka dipardlukanlah diat (denda) atas orang perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawianan, dan diperhitungkan juga adanya ‘ashobah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti) dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka.
Karena itu Ulama berkata: “Adat itu adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hokum”. Sedangkan ‘urf menurut syara juga mendapat pengakuan. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hokum dengan dasar atas perbuatan ‘urf mereka. Imam Syafi’i ketika telah berada di Mesir mengubah sebagian hokum yang telah menjadi pendapatnya ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf. Karena itu beliau mempunyai dua mazhab, mazhab qodim (pertama/dahulu) dan mazhab jadid (baru). Dalam fikih Hanafiyah banyak hukum-hukum yang didasarkan atas ‘urf.
Adapun ‘urf yang rusa, maka tidak harus memeliharanya, karena memeliharanya itu adalah menentang dalil syara, atau membatalkan hukum syara. Maka apabila manusia telah saling mengerti akad diantara akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar dan khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf, ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkan akad ini.
Hukum-hukum yang didasarkan atas ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada suatu zaman dan perubahan asalnya. Karena itu para Fuqoha berkata dalam contoh perselisihan ini: “Bahwa perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.
‘Urf menurt penyelidikan adalah bukan dalil syara yang tersendiri. Pada umumnya ia adalah termasuk memelihara masalah sebagaimana dipelihara dalam pembentukan hukum. Dipelihara juga dalam menafsirkan beberapa nash, maka dengan itu di khususkanlah lafal yang ‘am (umum) dan dibatasi yang mutlak. Terkadang Qiyas itu ditinggalkan, lantaran ‘urf. Karena itu sah mengadakan kontrak borongan dimana ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut Qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontak atas perkara yang ma’dum (tiada).
H. DALIL KEDELAPAN ( AL-ISTISHAB )
1. Definisinya
Istishab menurut bahasa Arab ialah: mengakui adanya hubungan pekawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul, yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalilyang menunjukan atas perubahan.
Maka apabila seorang mujtahid ditanya tentang kontrak atau pengelolaan, dan tidak menemukan nash dalam Al-qur’an dan Al-sunnah, juga tidak menemukan dalil syara yang mengitlakan hukumnya, maka dihukumi dengan kebolehan kontrak atau pengelolaan tersebut atas dasar bahwa “pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
Jadi pangkal sesuatu itu adalah kebolehan, karena Allah telah berfirman dalam QS. Al-baqarah ayat 29.
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…”.
Dan Allah telah menjelaskan dalam beberapa ayat, bahwasanya Dia telah menaklukan segala yang ada dilangit dan dibumi untuk manusia, dan tidak apa yang ada dibumi itu dijadikan dan ditaklukan oleh manusia, kecuali apabila hal itu diperbolehkan bagi mereka, karena seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya bukan untuk mereka semua itu diciptakan.
2. Kehujjahannya
Istishab adalah akhir dalil syara yang dijadikan tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui suatu hukum pristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena Ulama Ushul berkata: “Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa”. Yaitu mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.
Dan atas dasar Istishab, telah dijadikan dasar prinsip-prinsip syariat seperti berikut:
اَلأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَايُغَيِرُهُ
“Asal sesuatu itu adlah ketetapan yang telah ada menurut keadaan, semula, sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang dapat mengubahnya”.
اَلْأَصْلُ فِي اْلاَشَيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
“Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan”.
مَا يَثْبُتُ بِالْيَقِيْنِ لاَيَزَوْلُ بِالشَّكِ
“Apa yang tetap lantaran keyakinan tidak akan hilang lantaran keragu-raguan”.
اَلْأَصْلُ فِي اْلِإنْسَانِ اَلْبَرَاءَتُ
“Asal pada manusia itu adalah kebebasan”.
Ulama Hanafiyah telah menetapkan bahwa Istishab itu adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan yang dimaksud mereka. Dengan ini yakinlah bahwa Istishab itu adalah hujjah atas ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula, dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda dengannya, sampai terdapat dalil yang menetapkan atas perbedaannya. Hal ini telah dijelaskan oleh ketetapan mereka tentang orang yang hilang, artinya yang gaib, yang tidak diketahui tempat tinggalnya, hidup dan matinya, maka gaib itu dihukumi sebagai yang hidup lantaran menetaokan keadaan yang sudah diketahui sampai terdapat dalil yang menunjukan atas wafatnya.
I. DALIL KESEMBILAN ( SYARIAT ORANG SEBELUM KITA )
Apabial Al-qur’an atau al-sunah yang sahih itu telah disyariatkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melaluai para Rasulnya, dan telah dinash bahwasanaya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada peselisihan bahwa syariat itu adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti dengan menetapkan syariat kita kepadanya, seperti firman Allah dala QS. Al-Baqarah ayat 183.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu…”.
Dan apabila Al-qur’an dan Al-sunnah yang sahih telah menceritakan mengenai hukum diantara hukum-hukum ini, juga telah terdapat dalil syara yang membebaskan (menghapus) dari kita, maka tidak ada perbedaan bahwa ia adalah bukan syariat untuk kita berdasarkan dalil yang menasakhkan (menghapus) dari pada syariat kita. Seperti ajaran yang ada pada Nabi Musa, bahwa orang yang durhaka tidak bisa menebus dosanya, kecuali jika dia membunuh dirinya sendiri, atau bahwa pakaian yang terkena najis tidak bisa disucikan kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis, dan hokum-hukum lainnya yang tetap menjadi beban orang-orang sebelum kita. Pangkal perselisihan itu ialah hukum-hukum syariat terdahulu yang telah diceritakan oleh Allah atau Rasul-Nya kepad kita. Dalam syariat kita tidak terdapat dalil yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, atau bahwa hal itu telah dihilangkan dan dihapus dari kita, seperti firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 32 dan 45.
Artinya : “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya…”.
Arinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya…”.
Maka Jumhur Ulama Hanafiyah dan sebagian Ulama Malikiyah, serta sebagian Syafi’iyah berkata: bahwasanya hukum itu adalah syariat untuk kita, dan kita wajib mengikuti serta menerapkannya selama hukum itu telah diceritakan kepada kita, dan dalam syariat kita tidak terdapat hukum yang menasakhnya, karena hukum itu adalah diantara hokum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan oleh Allah melalui para Rasul-Nya, dan Allah telah menceritakannya kepada kita. Juga tidak terdapat dalil yang menasakhkannya. Maka bagi orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Dan karena itu Ulama Hanafiyah mengambil dalil yang dinamakan pembunuhan itu “umum”, tidak peduli yang dibunuh itu muslim atau kafir zimmi, laki-laki atau perempuan, namanya tetap pembunuh atas dasar kemutlakan firman Allah: اَلنَّفْسُ بِالنَّفْسِ = “Jiwa dibalas dengan Jiwa”. Sebagian Ulama, berkata bahwa syariat kita adalah menasakh (menghapus) syarat-syarat terdahulu, kecuali apabila didalam syariat kita terdapat sesuatu yang menetapkannya.
J. DALIL KESEPULUH ( MAZHAB SAHABAT )
Setelah Rasulullah wafat, maka tampillaha untuk member fatwa kepada ummat islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fikih dan ilmu, dan merekalah yang lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami Al-qur’an serta hukum-hukumnya. Dari merika pula telah keluar beberapa patwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Sebagian para tabi’in diantara para tabi’in dan tabi’it tabi’in telah memperhatikan periwayatannya dan pentadwidannya, sehingga diantara mereka ada yang mengkondifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul.
Kesimpulannya ialah bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh pendapat dan akal sebagai hujjah bagi ummat islam, karena ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: yang artinya : “Tidaklah berdiam andungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Contoh ini tidak bisa menjadi tempat ijtihad dan pendapat, oleh sebab itu apabila hal tersebut sah, sumbernya adalah pendengaran dari Rasul, maka termasuk sunnah, sekalipun pada lahirnya adalah dari para sahabat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulannya ialah bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh pendapat dan akal sebagai hujjah bagi ummat islam, karena ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: yang artinya : “Tidaklah berdiam andungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayingan alat tenun”.
Adillah al-ahkam al-muttafaq ‘alaiha, adalah terdiri atas al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan adillah al-ahkam al-mukhtalaf fih terdiri atas istihsan, istishab, mashlahah al-mursalah, al-‘urf, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabi, dan syar’u man qablana.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para Mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw. atas hukum syara. Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
B. SARAN
Dalam Al-qur’an Allah Swt memerintahkan taat kepada Ulil amri diantara ummat Islam sebagaimana perintah kepada mukminin mentaati Allah dan Rasul-Nya, seferti Firman Allah Swt. dalam QS. An-Nisa ayat 59.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallafa, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Rjawali Pers Jakarta, 1988.
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.
Drs. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999.
Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
Prof. Dr. H. satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta, Kencana, 2005.
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus. 1995.
No comments:
Post a Comment